Belajar dari Komunikasi Pemerintah: Menghadapi Pandemi tanpa Empati

MAHASISWA ILMU POLITIK, UNIVERSITAS SILIWANGI.

Komunikasi merupakan salah satu kunci dari tercapainya sebuah tujuan dalam lingkup pengorganisasian, tanpa komunikasi yang baik, perencaan dan eksekusi wacana akan terancam tidak optimal. Begitu pun dalam sebuah pemerintahan, komunikasi yang baik menjadi satu hal yang harus diutamakan dalam mencapai sebuah tujuan. Apalagi di masa Pandemi COVID-19, yang merupakan krisis kesehatan, dan diharuskan tidak pula mengalami krisis komunikasi.

Mengingat pernyataan Presiden Jokowi pada awal ditemukannya 2 kasus positif COVID-19 di Indonesia, pernyataan itu menjadi sender pertama pemerintah bahwa kita memasuki fase krisis. Dalam disiplin komunikasi, pernyataan semacam itu biasanya disebut sebagai Komunikasi Krisis, yakni upaya sebuah institusi untuk meyakinkan publik bahwa mereka masih bisa berupaya mengendalikan suatu keadaan.

Dalam konteks Pandemi COVID-19, cara pemerintah berkomunikasi di tengah krisis ini sangat menentukan keselamatan Indonesia. Departemen Kesehatan Amerika Serikat 1 tahun yang lalu, telah mencari tahu 6 prinsip untuk Komunikasi Krisis yang efektif. Enam prinsip tersebut adalah: Be First; Be Right; Be Credible; Express Empathy; Promote Action; dan Show Respect. Dalam kasus komunikasi pemerintah hari ini, telah memenuhi empat dari enam prinsip tersebut.

Salah satunya adalah Be First, dikutip dari chanel youtube Sekretariat Presiden 1 Tahun lalu dalam Konferensi Pers Presiden terhadap adanya kasus positif di Indonesia. Presiden menyatakan bahwa, “Ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani persoalan-persoalan yang ada, yang berkaitan dengan virus corona”. Jokowi menyampaikan keadaan krisis secara cepat, apa adanya, dan instruktif, atau memberitahu tindakan yang harus dilakukan untuk mengatasi krisis.

Sayangnya, ada dua prinsip yang tidak terdapat dalam pola komunikasi pemerintah yakni empati (Express Empathy) dan rasa hormat (Show Respect). Dua hal ini bukan hanya tidak ada di satu kali konferensi pers pemerintah, pidato Presiden Jokowi atau pernyataan-pernyataan pejabat negara di sepanjang krisis COVID-19 ini pun jarang sekali yang memakai prinsip ini. Tapi, apakah memang dua hal ini sepenting itu? Dan, apa masalahnya jika dua prinsip ini tidak diterapkan?

Komunikasi krisis fungsinya adalah untuk mengolah emosi cemas yang muncul di tengah publik menjadi senjata untuk dapat menghadapi krisis bersama. Oleh karena itu, prinsip komunikasi krisis yang efektif bukan cuman soal cepat, kredibel, dan instruktif, tapi juga seyogyanya menunjukkan jika ada empati dan rasa hormat.

Sayangnya komunikasi krisis pemerintah pada sebelum-sesudah ada kasus positif COVID-19 di Indonesia, sangat jarang punya nada yang empatik. Sebelum ada kasus positif, pernyataan jumawa seperti Budi Karya yang pernah Berkelakar Soal Kebal Corona, kemudian  Menteri Airlangga yang pernah bergurau bahwa COVID-19 tidak bisa masuk Indonesia karena izinnya berbelit-belit. Setelah ada kasus positif di Indonesia, Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan sebut corona lemah di cuaca panas.

Padahal, informasi tersebut telah distempel sebagai Dis-informasi oleh Kominfo. Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan bahwa pejabat-pejabat publik kita berada dalam kondisi penyangkalan. Mereka menyangkal bahwa pandemi ini masalah serius, mereka juga menyangkal ketakutan dan kecemasan publik, padahal dua hal ini jelas-jelas ada.

Tanpa komunikasi yang empatik, yang mengakui adanya emosi yang negatif di tengah masyarakat, pemerintah tidak dapat menunjukkan jika kepentingannya sama dengan kepentingan publik. Hal ini diperparah dengan kebijakan-kebijakan awal pemerintah yang justru menggenjot industri pariwisata, padahal dunia sedang disibukkan dengan corona. Bahkan, hingga hari ini pemerintah juga lebih fokus memperbaiki sektor lain yang katanya terdampak dari COVID-19, dan lupa bahwa virus adalah sumber dari kewalahannya sektor lain. Dari sini, wajar jika kita berpikir bahwa keselamatan masyarakat bukanlah prioritas negara.

Prinsip komunikasi krisis ke-dua yang diabaikan pemerintah adalah rasa hormat. Salah satu contoh besarnya adalah dengan menyatakan publik tidak disiplin, atau bahwa publik akan panik jika tahu data yang lengkap. Presiden Jokowi baru menintruksikan buka data setelah banyak dikritik orang. Mantra supaya “tidak panik” menjadi alasan pemerintah untuk tidak berempati dan tidak menghormati publik dalam komunikasi seputar corona.

Justru, empati dan rasa hormat dalam komunikasi adalah cara yang paling tepat untuk membuat publik tenang. Sejarawan bencana, John Barry mengibaratkan ini layaknya film horor, “momen paling seram adalah sebelum monsternya muncul, sebab imajinasilah yang mengendalikan. Namun ketika monsternya muncul, kita tidak setakut seperti yang kita imajinasikan.” Ketika kita tahu realitas, seburuk apapun itu, kita menjadi punya pegangan dan dapat memutuskan kebijakan yang rasional untuk keluar dari masalah yang dihadapi.

Seperti halnya yang baru terjadi ketika kasus positif COVID-19 tengah melonjak pada Juni 2021. Data kematian yang dilaporkan sangat under reporting, sehingga masyarakat tidak terbangun sense untuk menyadari bahwa angka kematian sudah jauh lebih banyak. Padahal saat ini, bukan hanya yang sakit yang sulit ditangani, yang telah dinyatakan meninggal pun sudah sulit untuk ditangani. Situasi saat ini tengah collaps, tetapi justru belum terlihat sense of emergency dari pemerintah untuk mereka yang masih berkegiatan tanpa mematuhi protokol kesehatan.

Adanya Satuan Gugus Tugas Percepatan Penangan COVID-19, atau yang akrab kita sapa dengan Satgas COVID-19 di daerah justru menjadi tolok ukur masyarakat dapat menggelar acara semacam kenduri atau pun perhelatan lainnya. Padahal, adanya Satgas COVID-19 di Kabupaten/Kota harus menjadi pencegah adanya kerumunan dan meminimalisasi kegiatan-kegiatan yang tidak begitu mendesak. Di daerah, masyarakat cenderung berani menggelar acara dengan berbekalkan “legalitas” dari Satgas COVID-19 di daerah tersebut. Maka tidak heran, dari awal tahun 2021 kita cenderung menjadi selow dengan pandemi ini.

Padal awal pandemi ini masuk ke Indonesia, kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam mengatasi corona masih tinggi. Sampai hari ini, strategi komunikasi pemerintah baik di pusat ataupun daerah masih punya banyak masalah, pun ketika kedua belah pihak seharusnya memiliki korelasi antar kebijakan yang dikeluarkan. Kita pasti tidak lupa, ketika Pemrov DKI Jakarta lebih gesit ketimbang pemerintah pusat, hal ini menimbulkan premis bahwa Anies Baswedan lebih tanggap terhadap COVID-19 ketimbang Presiden Jokowi.

Bukan hanya itu, dilematis kebijakan mudik pun berbeda antara pusat dan daerah. Daerah yang memiliki sektor pariwisata awalnya tidak menutup dengan dalih untuk pemulihan ekonomi, tetapi setelah mendapati banyak kasus yang muncul setelah wisatawan berkunjung, daerah justru “cuci tangan” dan berdalih bahwa kebijakan setidaknya mengikuti intruksi dari pusat. Jelas, pemerintah pusat atau daerah 2 tahun pandemi ini terlihat kelabakan dan tidak berkoordinasi dengan baik. Pemerintah baik pusat atau pun daerah tidak menerapkan pola komunikasi yang terstruktur dan menerapkan 6 prinsip dari komunikasi krisis di atas.

Terbukti, lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia yang terjadi pada Juni 2021 ini, yang ternyata salah satu faktornya ialah dari euforia mudik lebaran. Sebab, sedari awal pemerintah pusat dan daerah tidak pernah kelihatan serius dan tegas dalam menetapkan kebijakan perihal mudik tersebut.

Perbedaan kondisi yang sangat signifikan antar daerah, membutuhkan komunikasi dan kolaborasi yang masif antara pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah. Peningkatan indikator kasus positif COVID-19 dan angka kematian di wilayah harus segera ditangani dengan langkah yang tepat dan menyeluruh.

Upaya pengetatan pengawasan dan pembatasan pergerakan orang di sejumlah wilayah berimplikasi terhadap faktor sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, keterlibatan secara aktif para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah sangat diperlukan untuk mengatasi dampak kebijakan pengendalian tersebut.

Fenomena silang pendapat antara pusat dan daerah mencerminkan adanya kekacauan dalam tata kelola komunikasi pemerintahan. Kekacauan komunikasi internal bisa jadi disebabkan karena dua hal. Pertama, karena kemampuan komunikasi daerah yang kurang, dan kedua karena lemahnya kepemimpinan seorang Presiden. Namun, jika melihat kekacauan komunikasi ini sudah terjadi berkali-kali, penyebabnya mungkin adalah karena lemahnya kepemimpinan seorang presiden.

Buruknya komunikasi pusat dengan daerah akan kontraproduktif dan mengganggu jalannya pemerintahan di daerah. Menurut penulis, kebijakan pemerintah daerah harus seiring dengan kebijakan pemerintah pusat, oleh karena itu menerapkan komunikasi yang struktural dan massif sangat diperlukan.

Oleh : Ayu Sabrina Barokah

Sumber : https://tasikraya.com/belajar-dari-komunikasi-pemerintah-menghadapi-pandemi-tanpa-empati/

Sumber foto : Istimewa

2 thoughts on “Belajar dari Komunikasi Pemerintah: Menghadapi Pandemi tanpa Empati

  1. Taufik Hidayat says:

    terimakasih banyak untuk tulisan yang sangat luar ini. izin perkenalkan diri saya Taufik Hidayat Mahasiswa Komunikasi UIN Jakarta.
    kalau boleh saya ingin meminta data lebih lengkap dari mana penulis memandang masalah Komunikasi pemerintah terhadap pandemi ini sehingga penulis bisa menulis tulisan ini.
    kedua kiranya izinkan saya bisa bertukar pikiran dengan penulis karena bagi saya tulisan penulis masih cenderung subjektif dan deskriptif. saya berkeyakinan gagasan yang di ambil penulis jika dilengkapi lebih dalam lagi akan menjadi sebuah tulisan yang menghasilkan solusi untuk Indonesia menghadapi kondisi seperti ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

X